Jumat, 01 April 2011
Bermain Bersama Anak Usia Dini
Oleh Nurul Maghflroh
Pendidik home schooling di Desa Ponowaren Talangsari Sukoharjo.
Baca-tulis hitung tidak untuk anak usia dini, tulis sebuah media. Membacanya, saya jadi teringat masa menjadi tenaga pendidik di sebuah lembaga pendidikan anak usia dini (PAUD) di Tawangsari beberapa bulan lalu.
Sebagai tenaga pendidik, saya dipaksa mengajar baca-tulis-hitung (calistung) kepada anak TK A (4-5 tahun). Ketika itu, saya dituntut oleh pengelola untuk mengajarkan sesuatu yang sebenarnya saya sendiri tidak sepakat. Menurut keterangan pengurus dan pengelola, calistung merupakan tuntutan dari orang tua.
Saat saya mencoba bertanya kepada orang tua siswa, mereka menjawab dengan ringan, iCalistung, iqra minimal jilid empat, doa-doa harian, dan beberapa hadis pendek, merupakan syarat wajib masuk madrasah ibtidaiyah (Ml) favorit di Sukoharjo.?
Bahkan, dalam sebuah buku komunikasi, ada orang tua yang menuliskan, iTolong ya Bunda, Adik diajari calistung dengan saksama. Jika tidak mau dipaksasaja. Jangan merasa kasihan." Betapa saya terkaget-kaget membaca ruang komunikasi orang tua tersebut.
Pertanyaan yang muncul, mengapa orang tua dan pengelola PAUD memaksakan pendidikan model calistung kepada anak usia dini?
Paradigma
Paradigma orang tua sudah terpatri pada ketentuan calon sekolah impian untuk anak-anaknya. Mereka tidak pernah mau tahu dan mengerti bahwa usia 4-5 tahun adalah usia bermain. Bagi orang tua, kalau anak di PAUD hanya diajak bermain dan bernyanyi, mereka pun bisa. "Mengapa saya harus menyekolahkan anak saya di PAUD dengan membayar Rp 100 ribu per bulan jika hanya bernyanyi dan bermain, saya pun bisa," kata seorang orang tua siswa.
Hal tersebut merupakan fakta pendidikan di Indonesia, khususnya di lembaga PAUD. Orang tua siswa berpacu agar anaknya dapat meneruskan sekolah tingkat dasar yang favorit. Jika anak mereka mampu masuk (diterima) di SD/MI tersebut, gengsi orang tua dan keluarga akan naik. Ia dapat menyombongkan diri dan mewartakan kepada orang lain bahwa anaknya mampu diteri-ma di sekolah tersebut.
Orang tua tidak pernah mau berpikir bahwa anak-anak tersebut masih senang bermain dan bersosialisasi. Mereka juga abai terhadap kondisi psikologis anak-anaknya. Mereka hanya tahu anaknya cerdas dan bangga melihat realitas tersebut.
Keadaan ini tentu perlu diakhiri. Beberapa hal yang perlu dilakukan untuk itu. Pertama, mengubah paradigma orang tua siswa. Orang tua perlu disadarkan bahwa anak-anak mereka tidak suka dipaksa untuk belajar calistung. Usia mereka adalah usia bermain. Cara pengajaran bagi anak, yakni dengan mengajak mereka bermain sambil mengenalkan huruf dan angka.
Orang tua perlu meluangkan waktu untuk bermain bersama anaknya walaupun hanya beberapa menit. Hal ini karena orang tua merupakan guru pertama bagi seorang anak. Kedekatan emosi orang tua dan anak akan semakin memudahkan anak dalam belajar dan menyerap informasi.
Kedua, kesadaran pengurus dan pengelola lembaga PAUD. Pengurus dan pengelola sudah saatnya menyadarkan orang tua siswa agar mereka tidak menuntut hak yang berlebihan kepada anaknya dan lembaga.
Pengurus dan pengelola tidak boleh larut dalam tuntutan orang tua siswa. Walaupun mereka dibayar oleh orang tua, lembaga PAUD mempunyai kewenangan untuk menyelenggarakan pendidikan yang ramah anak.
Jika lembaga PAUD menyerah kepada keinginan orang tua, berarti independensi lembaga tergadaikan. Lembaga bak seorang buruh yang tunduk dan takluk kepada majikan. Apa yang diminta oleh majikan diiyakan tanpa memedulikan sumber daya yang ada.
Ketiga, menurunkan standar masuk SD/MI. Ironis memang, di tengah semakin gencarnya pemerintah menyelenggarakan pendidikan gratis. Namun, sekolah swasta yang mematok biaya tinggi (mahal) semakin diminati. Lebih dari itu, sekolah tersebut justru memilih-milih calon siswa. Mereka menerapkan standar tinggi dalam memperoleh input. Tidak aneh jika produk lulusannya (output) di atas rata-rata.
Penyelenggara pendidikan sebagai insan terdidik sudah saatnya sadar bahwa pendidikan bukanlah tempat atau sarana mencetak sebanyak-banyaknya lulusan terbaik dengan kualitas input yang memadai. Tugas insan pendidikan adalah membentuk insan mandiri danmengangkat mereka ke taraf insan. Mereka tidak pernah membeda-bedakan input. Insan pendidikan harus merasa senang dan terpanggil dengan memperoleh input yang pas-pasan atau sedang-sedang saja. Keberhasilan mendidik adalah menjadikan yang sedang-sedang saja menjadi hebat dan luar biasa.
Pada akhirnya, mendidik anak usia dini adalah dengan bermain, bukan memaksakan hal-hal yang belum saatnya diajarkan kepada mereka. Bermain merupakan sarana belajar yang tepat dan baik bagi anak usia dini. Maka itu, mulai saat ini mari bermain bersama anak-anak.
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar